Senin, 05 Januari 2009

PENDIDIKAN DAN TUNTUTAN PERUBAHAN

EDUCATIONAL CHANGE
Dewasa ini disadari bahwa masa resesi ekonomi yang melanda Indonesia sangat berpengaruh kuat terhadap semua sektor kegiatan terutama sektor usaha. Dampak krisis tersebut ternyata terus menyebar pada jaringan kehidupan yang lebih luas dalam lembaga-lembaga sosial lainnya seperti lembaga pendidikan. Ini karena berlakunya kompetisi global. Dan untuk menghadapi semua itu ada sejumlah alasan yang menuntut kita terus berubah.
Dalam perjumpaan kita pada hidup dan kehidupan, semakin hari kita semakin di yakin bahwa gerak, dinamika, dan perubahan-perubahan adalah bagian dari keduanya. Menyikapi hal itu kita dituntut untuk dapat melakukan adaptasi, perubahan adalah esensi dan pertanda kehidupan. Dalam dunia pendidikan “we are always in the process of becoming”, kita semua manusia selalu dalam proses perubahan.
Dewasa ini dunia pendidikan dituntut untuk selalu lebih banyak melakukan perubahan. Lebih maju dan berkualitas. Perubahan yang terjadi di dunia ini, tentu saja harus segera direspon oleh dunia pendidikan. Berikut tuntutan pendidikan masa depan yang sering dijadikan alasan untuk berubah, yang harus dipenuhi apapun lembaganya, lembaga profit atau nonprofit baik negeri atau swasta.
Pertama, cepat dan responsip (speed and responsive. Lembaga pendidikan saat ini sedang berlomba-lomba, Perguruan tinggi dari luar negeri atau pun dalam negeri gencar berpromosi. Perguruan-perguruan tinggi swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran dan menjadikan dunia pendidikan tinggi seperti bisnis dan industri. Pada dasarnya intensitas persaingan berakar pada perbaikan yang berhubungan dengan kualitas pendidikan, antara lain bidang pertumbuhan dan struktur lembaga/organisasi, bidang kepemimpinan dan budaya organisasi, dan sistem komunikasi organisasi yang bersangkutan. Persaingan mengacu kepada intensitas respon. Apakah setiap perguruan tinggi secara terus-menerus berusaha mengungguli setiap gerakan yang diambil oleh kompetitornya? Dengan melakukan kegiatan-kegitan yang mampu menciptakan nilai tambah atau lebih yang berhubungan dengan kualitas pendidikan. Itulah yang menumbuhkan kepercayaan orang kepada sebuah organisasi. Perubahan yang diharapkan dapat mengatasi masalah yang sedang terjadi saat ini agar kita tidak lagi menjalani kesengsaraan yang terjadi di masa lalu.
Kedua, innovasi yang kreativ (creativity innovation). Dulu pendidikan dan pengajaran menggunakan cara-cara lama seperti tatap muka langsung, monoton di kelas, yang seharusnya bisa dilakukan di luar kelas. Sekarang orang berinovasi, orang jenuh duduk berlama-lama di suatu tempat. Kelas dapat dilakukan dengan internet yang dilakukan oleh beberapa website yang sudah membuka kelas. Ada juga kelas teleconference yang pesertanya diikuti antar negara. Atau belajar yang dilakukan di luar kelas, seperti yang dilakukan baru-baru ini oleh sebuah perguruan tinggi yang mengadakan kuliah umum di atas kereta api listrik. Tanpa mengurangi atau menambah jam kuliah yang sudah ditentukan. Mengembangkan metode penelitian yang sudah sering digunakan agar lebih variatif dan berdaya guna yang lebih menyentuh aspek kultural. Reformasi kultural diperlukan untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan baru. Cara kerja yang berorientasi pada nilai-nilai mutu dan kualitas akademik yang tinggi, produktivitas, keakurasian, dan kecepatan, juga berorientasi kepuasan “stake holder” sekaligus pada pengembangan keilmuan yang harus menjadi pegangan setiap insan di akademik untuk meningkatkan mutu pelayanan perguruan tinggi. Dalam sistem manajemen yang integratif melibatkan pengelola, staff dan kedua isu metode kualitatif serta kuantitatif. Secara terus menerus meningkatkan proses organisasi agar menemukan dan memiliki: kebutuhan, keinginan dan harapan konsumennya.[1] Bila digambarkan mutu pelayanan total dapat dilihat berikut ini:
Gambar: 2-4. Sistem Mutu Pelayanan Total, Sumber diadaptasi: D.H. Stamatis, Total Quality Service: Principle, Practice and Implementation, Singapore, 1996, p. 44.

Dalam menerapkan strategi mutu pelayanan total yang dimiliki oleh organisasi pelayanan adalah membuat kebijakan yang berkenaan dengan: 1) intangible yang harus: a) tidak boleh kaku, untuk berkompetisi perlu melakukan inovasi, b) dapat melakukan positioning dan komunikasi, c) tanggap terhadap kekompleksan dan peka terhadap permintaan, d) sekalipun sulit karena intangible harus tetap mengontrol mutu. 2) menghasilkan pelayanan terus-menerus kepada konsumen, 3) melibatkan konsumen dalam proses penyerahan. [2] Begitu pentingnya proses penyerahan, kontrol dan kontinuitas dalam mengatur strategi mutu pelayanan, sehingga perlu melakukan mobilitas tinggi dalam organisasi produk jasa pelayanan, termasuk jasa pendidikan.
Keberhasilan organisasi produk pelayanan menekankan mobilitas secara kontinyu untuk menciptakan banyak nilai (value), pengelola tidak bekerja keras untuk pelayanan yang bermutu, tetapi juga untuk menyampaikan nilai kepada pelanggan mereka. [3]
Dengan bekal strategi yang jelas dan komunikasi yang baik maka para staf akademik sebagai wakil pernyataan posisi organisasi dan tujuan pada pelayanan konsumen, sistem, program-program organisasi, prosedur, dan perencanaan sumber daya untuk mendorong mutu pelayanan konsumen, Dalam hal ini staf akademik mewakili seluruh posisi dalam proses kapasitas dan keinginan untuk merespons kebutuhan konsumen (mahasiswa), sedangkan konsumen adalah partner hubungan organisasi sebagai kunci pengguna dan penyalur dalam basis saling menang, sebagai tujuan secara keseluruhan maka mutu pelayanan total adalah mencapai kepuasan konsumen dengan memberikan pertanggungan jawab dan membuat peningkatan secara terus-menerus.[4]
Ketiga, fokus pada lingkungan yang kompetitif (focus on competition environment). Seseorang pemimpin menghadapi perubahan dengan memiliki visi dan strategi yang didasarkan pasa asumsi. Kadang dia berhadapan dengan perubahan, setelah dia berada di ambang pintu, situasi itu mungkin dapat diatasi tetapi pasti hasilnya bukan sebagai suatu potensi atau kegunaan.
Keempat, kepemimpinan pada setiap level (leadership prom every body), sebelumnya pahami dahulu apa itu kepemimpinan? Kita mendefinisikannya sebagai, “inspirasi dan pergerakan sumber daya lain untuk melaksanakan tindakan secara bersama-sama guna mencapai nilai-nilai yang baik. Definisi ini menyarankan kepemimpinan dan pemimpin bukanlah hal yang sama. Kepemimpinan yang efektif pada organisasi public dan organisasi non profit dan masyarakat merupakan pekerjaan secara bersama-sama yang melibatkan banyak orang yang memiliki peran berbeda-beda pada waktu yang berbeda sebagaimana yang dikatakan oleh Charlotte. Intinya, orang yang sama akan menjadi pemimpin pada waktu tertentu dan menjadi pengikut waktu tertentu pada saat pertukaran lingkaran strategi. Pemimpin harus focus terhadap organisasi dan perubahan organisasi dalam konteks sosial, politik, ekonomi, sistem teknik, dan trend yang relevan. Mereka harus punya pandangan akan sejarah organisasi dan bahkan prasejarah organisasi untuk membantu orang dalam organisasi untuk berfikir lebih bijaksana tentang masa depan organisasi. Tuntutan masa depan kepemimpinan harus ada pada setiap level. Memahami diri sendiri dan orang lain merupakan hal penting dalam pengembangan kekuatan dan sudut pandang yang mengawali kemepimpinan dan meningkatkan perencanaan strategis dan implementasinya akan membantu organisasi.
Pemimpin harus mencoba memahami kekuatan dan kelemahan orang yang terlibat atau orang yang harus terlibat dalam perencanaan dan implementasi, termasuk pemimpin itu sendiri. Bisa saja hal kekuatan yang paling penting adalah hasrat untuk mencapai misi organisasi dan kontibusi misi tersebut terhadap stakeholder. Kekuatan lain adalah network, dan rasa terhadap kompleksitas yaitu kemampuan memilih dari keragaman perilaku yang tepat. (Luke, 1998, et al). Dalam perencanaan strategik mutu intergritas individu, efektifitas individu dan keberanian sangatlah penting dalam membantu participan mengembangkan kepercayaan dan determinasi mengambil resiko, mengeksplorasi masalah yang sulit dan strategi baru, dan mencari penyebab yang tidak popular. Tambahan terhadap asset pemimpin termasuk dukungan terhadap network individu, kemampuan menyeimbangkan tuntutan yang kompetitif, dan kesadaran tentang bagaimana kempemimpinan dipengaruhi oleh suatu lokasi dalam hirarki sosial yang dominan. Pemimpin haruslah mengingat bahwa pemahaman dan dukungan terhadap asset individu merupakan hal yang sangat mempengaruhi instrumen dari semuanya. (Lipman-Blumen, 1996).
Kelima, control by vision and values (kendali pada visi dan nilai), visi dan misi sangat penting karena yang akan memandu. Dalam strategic planning pendidikan, tentunya tidak lepas dari visi dan misi lembaga pendidikan tersebut. Visi menunjukkan tujuan besar yang bersifat general dan all-inclusive, dalam hal ini visi lebih digambarkan sebagai aspirasi mendatang, tanpa memerlukan maksud spesifik dari pencapaian keinginan akhir[5], sedangkan menurut Beck “ the most effective vision are those that inspire, and this inspiration often take the form of asking for the best, the most, or greatest. It may be the best service, the most rugged product, or the greatest sense of achievement, but must be inspirational.[6] Dalam pengertian bahwa visi yang paling efektif adalah visi yang mengilhami, dan inspirasi ini sering mengambil format terbaik, kebanyakan, atau terbesar. Mungkin saja jasa layanan yang terbaik, produk yang tidak monoton, atau prestasi yang terbesar, tetapi harus mendatangkan ilham dan implikasi visi pendidikan tersebut yang jelas memiliki impian, untuk ikut berperan aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui kepuasan pelayanan program pendidikan kepada masyarakat dan pengguna jasa pendidikan, menurut Andrew “A Vision become tangible as a mission statement”.[7] Secara umum kontrol merupakan “proses pengelolaan yang dapat memastikan bahwa aktivitas yang aktual sesuai dengan yang direncanakan”.[8] Kontrol menurut tujuannya merupakan “kegiatan untuk memeriksa apakah hasil yang direncanakan berhasil dicapai”.[9]
Keenam, information shared (andil informasi), kita sering mendengar berubah atau diubah, agar jangan menjadi katak dalam tempurung. Perubahan karena intervensi/keterpaksaan harus berubah atau organisasi dan manusianya sendiri yang mau berubah. Ketika sesuatu yang baru bermunculan seseorang eksekutive harus segera meresponnya, dengan maksud dengan tujuan segera belajar dan berbenah. Tetapi kerana mendiamkannya maka gelombang besar itu sama sekalitidak bisa membuat anda menahannya.
Ketujuh, Proactive and entrepreneurial, istilah Entrepreneurship mungkin bagi kebanyakan belum begitu familiar. Sementara sudah dipraktikkan dalam dunia pendidikan. Sudah barang tentu, tidak ada salahnya jika kita mulai belajar mengenal Enterpreneurship. Enterpreneurship bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan hanya melalui aspek kognitif semata, karena membentuk sikap hidup. Maka, diperlukan latihan riil dan tantangan untuk mengembangkan ketrampilan dan keberanian dengan membuat keputusan merupakan kunci yang paling sukses memperkenalkan bidang Enterpreneurship. Ayoo mahasiswa perguruan Islam swasta mana young indonesian muslim Enterpreneur? Jiwa Enterpreneurship tidak terjadi begitu saja, tapi harus digali. Tumbuh suburnya jiwa enterpreneurship di kalangan mahasiswa tentunya merupakan suatu hal yang sangat positif. Suatu saat nanti perusahaan-perusahaan yang dibangun oleh para mahasiswa itu akan mampu menjadi perusahaan yang besar. Kenapa? karena memang perusahaan-perusahaan yang dibangun oleh para mahasiswa sebagian besar dijalankan dengan pola yang berbeda dengan perusahaan-perusahaan konvensional yang selama ini sudah exist. Sudah banyak perusahaan di Amerika yang sekarang sudah berjalan dengan pola yang baru, contoh yang paling terkenal adalah google, dengan style barunya itu berhasil mengobok-obok microsoft yang bergerak dengan pola yang lama, kaku dan tegang. Ada banyak hal yang bisa dikerjakan untuk mulai belajar hidup mandiri dan mendapatkan penghasilan. Banyak yang mengandalkan beasiswa untuk menyokong baik kuliah maupun kehidupan sehari-harinya. Namun, kita sebagai insan cendekia harusnya bisa lebih kreatif untuk mencari dana sendiri daripada bergantung sepenuhnya pada beasiswa.
Kedelapan, creating tomorrow’s market (kreasi pasar masa depan), pasar ada dua: pasar yang sudah ada dan future market/pasar masa depan tinggal pilih yang mana.
Kesembilan, interdependence (kemitraan), bermitra bisa dengan siapa saja. Kalau mau sukses harus bermitra. Dan memiliki strategi-strategi untuk menangkap mitra baru atau mempertahankan existensi mitra yang lama. Salah satunya dengan meningkatkan frofessionalisme kinerja organisasi.
Kesepuluh, environmental concerns (peduli lingkungan), Kelestarian lingkungan harus menjadi kepedulian utama manusia agar dengan lingkungan yang terjamin kelestariannya, akan terjamin juga sumber-daya dan utamanya bagi kelangsungan hidup manusia dan kelangsungan bagi pendidikan anak manusia (generasi muda) secara berkelanjutan. Sebaliknya dengan kelangsungan pendidikan yang berkelanjutan akan terjamin pula kelangsungan kelestarian lingkungan dan kebudayaan manusia sehingga terjamin pula kelangsungan terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan.
Jadi dalam hal ini: harus ada kepedulian terhadap penting dan strategiknya lingkungan hidup yang terjamin kelestariannya; dengan lingkungan yang lestari dapat memungkinkan berlangsungnya pendidikan yang berkelanjutan. Dengan pendidikan yang berorientasi sepenuhnya kepada lingkungan sebagai basis semua kehidupan, maka pendidikan juga dapat berlangsung sepanjang hayat (life long education); Dengan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable education) akan memungkinkan pula berlangsungnya pembangunan kehidupan manusia yang berkelanjutan (sustainable development).
Jadi kepedulian Lingkungan hakikatnya adalah bertujuan agar manusia: Tetap berorientasi dan memiliki kepedulian pada lingkungannya sehingga tetap terjamin kelestariannya. Manusia mampu berlanjut hidup (survive) secara berkelanjutan dengan terjaminnya pembangunan lingkungan yang berkelanjutan. Dan ini juga berlangsung secara berkelanjutan berkat dukungan program pendidikan lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat (life long education). Dengan pendidikan yang berlangsung berkelanjutan, menjamin kelangsungan daya cipta, daya inovasi, dan daya persepsi dan wawasan (generic) insani/ manusia, sejauh manusia memperhatikan kelangsungan dan peningkatan mutu pendidikannya berbasis pada lingkungannya. Dengan terjaminnya kelangsungan daya cipta, daya inovasi dan daya persepsi dan wawasan (generic) manusia, akan terjamin kelangsungan kebudayaan manusia. Kebudayaan adalah keseluruhan hasil daya cipta, daya inovasi dan daya generic manusia yang terus menerus berlangsung / survive secara berkelanjutan. Dengan pendidikan yang berkelanjutan sepanjang hayat(life-long education) maka akan berlangsung pula kesinambungan pembangunan manusia dari masa ke masa dalam situasi yang kondusif, aman dan damai.(sustainable development).
Lingkungan ada 7 : lingkungan sosial, lingk buatan (stasiun, kampus), lingk lapisan ozon,
Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola yang baru dapat digambarkan sebagai berikut
Pola lama
Menuju
Pola baru
- Subordinasi
——>
- Otonomi
- Pengambilan keputusan terpusat
——>
- Pengambilan keputusan partisipasi
- Ruang gerak kaku
——>
- Ruang gerak luwes
- Pendekatan birokratik
——>
- Pendekatan Profesional
- Sentralistik
——>
- Desentralistik
- Diatur
——>
- Motivasi diri
- Overregulasi
——>
- Deregulasi
- Mengontrol
——>
- Mempengaruhi
- Mengarahkan
——>
- Memfasilitasi
- Menghindar Resiko
——>
- Mengelola resiko
- Gunakan uang semuanya
——>
- Gunakan yang seefisien mungkin
- Individu yang cerdas
——>
- Informasi terbagi
- Informasi terpribadi
——>
- Pemberdayaan
- Pendelegasian
——>
- Organisasi datar
- Organisasi herarkis

Mengacu pada dimensi-dimensi tersebut di atas, pendidikan memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya. Pengambilan keputusan akan dilakukan secara partisipatif dengan mengikutsertakan peran masyarakat sebesar-besarnya.
[1] D. H. Stamatis, Total Quality Service: Principle, Practices, and Implementation (Singapore: SS. Mubaruk & Brother Pte. Ltd., 1996), pp. 43-44.

[2] Gerard A. Tocquer dan Chan Cudennec, Service Asia: How The Tigers Can Keep Their Stripes ( Singapore: Prentice Hall, 1998 ), pp. 3-4.
[3] Ibid., p. 9.
[4] D. H. Stamatis, Total Quality Service: Principle, Practices, and Implementation ( Singapore: SS. Mubaruk & Brother Pte. Ltd., 1996 ), p. 44.
[5] Ben B. Tregoe, Implementation the Vision: The Leasson Learned ( New York: Homwood, Illinois: Richard D. Irwin, 1990 ), p. 48.
[6] Robert N. Beck. Vision, Value and Strategy: Change Attitudes and Culture ( New York: Academy Management Executive, 1997 ), p. 34.
[7] McGowan R. Andrew, Mission Statement: A Key Strategy Planning ( New York: McGraw-Hill Book Company, 1993 ), p. 100
[8] James A. F. Stoner, Manajemen, terjemahan Agus Mulana dkk. ( Jakarta: Erlangga, 1982), p. 257.
[9] Philip Kotler, Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian, terjemahan Ancella Aniawati Hermawan ( Jakarta: Salemba Empat Prentice-Hall, 1994 ), p. 880.

Tidak ada komentar: